Tweet |
Cormier & Hackey (dalam Gibson & Mitchell, 1995:143) mengidentifikasi empat tahapan proses konseling yakni membangun hubungan, identifikasi masalah dan eksplorasi, perencanaan pemecahan masalah, aplikasi solusi dan pengakhiran. Sedangkan Prayitno (1998:24) menyebutkan bahwa ada lima tahap proses konseling yakni pengantaran, penjajagan, penafsiran, pembinaan dan penilaian. Soli Abimanyu dan M. Thayeb Manrihu (1996) mengklasifikasikan konseling perorangan kepada lima tahap yang diawali dari pengembangan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal, eksplorasi masalah, mempersonalisasi, mengembangkan inisiatif, mengakhiri dan menilai konseling.
Berdasarkan pendapat ketiga ahli di atas, terdapat kesamaan pentahapan dalam konseling perorangan. Dapat disimpulkan bahwa proses konseling perorangan dilakukan dalam lima tahap yakni :
1. Tahap pengantaran,
Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.
Memperjelas dan mendefinisikan masalah.. Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien
2. Penjajagan dan penafsiran,
Membuat penafsiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, Menegosiasikan kontrak
3. Pembinaan
Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.Hal ini bisa terjadi jika : Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau wawancara konseling, serta menampakKan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.
4. penilaian.
1. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling
2. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
3. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
4. Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ;
Menurunnya kecemasan klien
Perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis.
Pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya.
Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas
Adapun teknik-teknik yang dipakai dalam membentuk dan menyelenggarakan proses konseling pada umumnya disebut teknik umum. Sedangkan teknik khusus yaitu teknik-teknik yang diterapkan untuk membina kemampuan tertentu pada diri klien (Prayitno, 1998:28).
Terdapat tujuh langkah proses konseling dan psikoterapi yang dijelaskan dalam Brammer and Shostrom (1982), yaitu:
1. Tahap 1: membangkitkan minat dan membahas perlunya bantuan pada diri klien
Tujuan tahap ini adalah memungkinkan klien mengemukakan masalahnya dan mengetahui sejauh mana klien menyadari perlunya bantuan dan menyiapkan dirinya dalam proses konseling. Strategi yang dapat digunakan: menyambut klien dengan hangat, membantu klien menjelaskan inti masalah yang dialaminya
1. Tahap 2: membina hubungan
Tujuan dari tahap ini adalah membangun suatu hubungan yang ditandai oleh adanya kepercayaan klien atas dasar kejujuran dan keterbukaan. Suksesnya konseling ditentukan oleh: keahlian, kemenarikan dan layak untuk dipercayai.
1. Tahap 3: menetapkan tujuan konseling dan menjelajahhi berbagai alternative yang ada
Tujuan dari tahap ini adalah membahas bersama klien apa yang diinginkannya dalam proses konseling. Klien diajak untuk merumuskan tujuan berkaitan dengan permasalahannya.
1. Tahap 4: bekerja dengan masalah dan tujuan
Tujuan dari tahap ini adalah ditentukan oleh masalah klien, pendekatan dan teori yang digunakan konselor, keinginan klien dan gaya komunikasi yang dibangun oleh keduanya. Beberapa kegiatan dalam tahap ini: klarifikasi sifat dasar masalah dan memilih strategi, proses problem solving, penyelidikan perasaan klien lebih jauh, nilai dan batas pengekspresian perasaan, mengekpresikan perasaan dalam model aktualisasi.
1. Tahap 5 : Membangkitkan kesadaran klien untuk berubah
Pada tahap kelima ini hal yang penting konselor mulai bekerja dari pembahasan perasaan sampai memiliki kesadaran, hal ini bertujuan untuk membantu klien memperoleh kesadaran yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan mereka selama mengikuti proses konseling.
1. Tahap 6 : Perencanaan dan kegiatan
Tujuannya adalah membantu klien untuk menempatkan ide-ide dan kesadaran baru yang ditemukan ke dalam tindakan kehidupan sesungguhnya dalam rangka mengaktualisasikan model.
1. Tahap 7 : Evaluasi hasil dan mengakhiri konseling
Kriteria utama keberhasilan konseling dan indikator kunci mengakhiri proses konseling dan terapi adalah sejauh mana klien mencapai tujuan konseling. Bagi mereka yang berkecimpung dalam profesi menolong orang lain, ada kecenderungan alamiah untuk terlalu terbenam dalam upaya menolong orang. Mereka melaksanakan tugas mereka dengan keyakinan bahwa mereka harus berusaha memecahkan setiap masalah klien dan memberi kepastian hidup bagi orang-orang yang mencari pertolongan mereka. Keyakinan dan sikap ini tidak begitu bermanfaat sebab dapat sangat membebani si penolong. Sikap ini juga meremehkan posisi klien karena ia terpaksa merasa harus ditolong sepenuhnya. Lebih baik berpandangan bahwa orang-orang yang bermasalah tidak butuh mendapatkan "kepastian". Demikian juga tidak selalu bahwa mereka menginginkan masalah-masalah mereka dipecahkan.
Sebagai konselor, kita perlu secara seksama menilai kebutuhan- kebutuhan dan masalah-masalah klien sebelum memutuskan jenis pertolongan yang dibutuhkan. Demikian pula, penting bagi konselor untuk mengetahui apa yang ingin dicapai dalam konseling, dan pendekatan apa yang akan dipergunakan. Kadang-kadang, kita menjanjikan terlalu banyak dan menetapkan sasaran-sasaran yang tidak realistis dan dapat menyesatkan klien atau membuat diri kita sendiri frustasi dalam prosesnya. Kadang-kadang, kita terlalu terpaku pada satu cara yang efektif. Hal seperti ini menyebabkan kita menjadi picik dalam konseling.
Untuk memastikan efektifnya konseling, para konselor harus menyadari bahwa tidak semua orang membutuhkan konseling, dan tidak semua orang melihat manfaat apa pun dari konseling. Orang mungkin saja lebih memilih bentuk pertolongan lain untuk mengatasi masalah-masalah mereka. Kecenderungan wajar bila orang berusaha mencari sumber- sumber dukungan dan pertolongan yang sifatnya alamiah. Di Asia, keluarga biasanya merupakan satu sumber alamiah seperti yang dimaksudkan. Hal ini tetap saja berlaku bahkan seandainya keluarga sudah mengalami perubahan. Teman-teman juga merupakan satu sumber dukungan yang penting. Dalam suasana perkotaan, ikatan keluarga sudah melemah dan sering kali orang lari pada teman-teman mereka untuk mendapatkan pertolongan pada saat-saat stres. Terkadang satu- satunya yang mereka butuhkan pada saat-saat stres seperti ini adalah telinga yang bersedia mendengarkan. Mereka hanya membutuhkan kesempatan untuk menceritakan kesulitan-kesulitan mereka atau mencari dukungan emosional. Untuk orang-orang seperti ini, bergabung dalam sebuah kelompok pendukung atau kelompok beranggotakan orang- orang "yang menolong diri sendiri" sudahlah mencukupi. Konseling mungkin saja tidak dibutuhkan.
Konselor harus memulai pekerjaan mereka dengan kesadaran seperti itu sehingga mereka tidak perlu mati-matian dalam usaha menolong orang lain. Sebaliknya, mereka perlu semakin seksama dalam menilai dan mendekati orang-orang yang mempunyai masalah. Oleh karena itu, tepat untuk mengajukan pertanyaan: Apakah konseling itu dan untuk siapakah konseling itu diberikan? Pada dasarnya, konseling ditawarkan untuk mereka yang memiliki masalah-masalah yang tidak dapat mereka pecahkan atau yang mereka pikir tidak ada jalan keluarnya. Konseling merupakan sejenis pertolongan emosional, psikologis, yang disediakan untuk mereka yang menghadapi situasi-situasi hidup yang agak tidak wajar, dimana mereka mengalami sejumlah besar masalah. Meskipun keluarga, teman- teman atau para pemuka agama maupun masyarakat, bisa benar-benar memberikan pertolongan, tetapi ada saat-saat di mana sumber pertolongan dari luar dibutuhkan. Sumber yang disebutkan terakhir ini menambahkan dan melengkapi apa saja yang sudah diberikan. Dan sumber pertolongan ini diberikan oleh seseorang yang secara khusus terlatih untuk tujuan tersebut. Untuk itu sebelum proses konseling dimulai konselor harus mengetahui bagaimana proses konseling itu akan dilakukan. Penelaahan proses konseling akan memberikan pemahaman tentang unsur-unsur konseling yang efektif, ketrampilan-ketrampilan memadai yang dibutuhkan dan harus diperlihatkan, serta cara-cara melibatkan klien dalam pemecahan masalah.
Proses
Konseling pada dasarnya merupakan sebuah proses, yang dibuat dengan tujuan menolong klien yang bermasalah. Proses ini mempunyai awal dan akhir. Konseling merupakan satu situasi sementara yang menuntut terbentuknya relasi antara konselor dan klien dengan tujuan menolong klien. Proses konseling dapat berlangsung dalam satu kali pertemuan, beberapa kali pertemuan, atau lebih banyak lagi.
Pandangan ini memperlihatkan bahwa konseling membutuhkan waktu. Prosesnya bergerak maju tahap demi tahap. Sebagai suatu situasi dinamis, konseling dipengaruhi oleh kepribadian, lingkungan dan relasi antara konselor dan klien. Kalau kita melihat konseling sebagai proses, kita juga perlu berusaha memahami bagaimana kita dapat mempengaruhi ini sehingga menghasilkan perubahan-perubahan pada diri klien. Ada kegiatan- kegiatan dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang dibutuhkan pada setiap tahap. Ketrampilan-ketrampilan ini dapat dikembangkan dan harus diterapkan secara saksama untuk mengarahkan klien agar membuka diri secara tepat dan ikut ambil bagian dalam konseling. Ini tidak selalu berhasil, karena tidak mudah melibatkan klien dalam konseling. Tugas ini menjadi lebih sulit lagi jika klien tidak mengerti tujuan atau arah konseling. Proses ini juga tergantung pada relasi antara konselor dan klien.
KEPUSTAKAAN
Gibson, R.L. & Mitchell, M.H. 1995. Introduction to Guidance. New York: Macmillan Publisher.
Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita. Padang: FIP
0 comments:
Post a Comment