Tweet |
Suasana perpolitikan di Indonesia pasca pemilu legislatif sebagai sebuah konsekuensi untuk menduduki kursi legislatif dan mengusung calon presiden dan calon wakil presiden, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga beberapa partai berdasarkan data sementara belum memiliki peluang untuk mengusung pasangan calon Presiden, berusaha untuk mengadakan lobby politik, terutama partai yang pernah berjaya dan besar di Negara Indonesia.Beberapa pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh politik memunculkan beberapa bentuk koalisi, baik untuk keperluan pasangan presiden maupun parlemen, melakukan lobby dan pembentukan blok-blok. Yang terlihat dari luar, kelihatannya semuanya berorientasi pada kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, dengan tanpa melihat platform yang selama ini menjadi pemisah antara nasionalis dan agamais. Ini sebuah indikasi bahwa bahwa demokrasi politik di Indonesia berorientasi pada “anthroposentris”, memiliki kecenderung pada kekuasaan mengatasnamakan rakyat, dengan dukungan dari rakyat. Walaupun atas nama rakyat, sesuai pengertian demokrasi, namun dari banyak pengalaman yang telah ada, selama ini rakyat hanya diatasnamakan, dan fakta yang terjadi adalah bahwa kemiskinan dan rakyat miskin semakin susah dientaskan, semakin lapar, semakin muncul bermacam penyakit di masyarakat, semakin banyak musibah dan bencana alam, semakin jauh jarak kaya dan miskin, semakin banyak orang kaya baru, semakin terkurasnya sumberdaya alam yang menjadi ancaman kemiskinan yang berkepanjangan, semakin banyak kekayaan dijadikan dasar kekuasaan baik kekuasaan dalam demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik, semakin langkanya idealisme, semakin marjinalnya ketokohan, dan semakin kuasanya uang.
Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar, bahwa kekuasaan berdasarkan uang dan penguasaan sepertinya semakin menjadi trend dalam Pemilu tahun 2009 ini, yang selanjutnnya memunculkan dinasti politik, ‘politik menyusu’, politik koncoisme bahkan beberapa tokoh yang mengaku reformis banyak menempatkan keluarga, mantan pejabat, isteri, anak dan lain-lain sebagai sebagai calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, tentunya dengan dukungan finansial dan ketokohan sang tokoh dan penguasaan dalam partai politik tertentu, yang merupalam indikasi dan ancaman “plutokrasi”, yang mengembangkan demokrasi liberal (demokrasi pasar), demokrasi yang tidak “affirmative action”, memperkecil peran “civil sociaty organization”.
Demokrasi yang berdimensi manusia “anthroposentris” hanya melihat dari aspek manusia sebagai centralistic; padahal demokrasi adalah suara rakyat dan rakyat adalah menjadi bagian dari lingkungan sebagai tempat hidup yang tidak dapat dipisahkan sebagai sumber ekonomi yang berdimensi uang dan non uang yang tak ternilai. Dalam kaitannya dengan alam yang kita pijak ini, demokrasi yang semacam itu hanya melihat sumberdaya alam dari nilai uang dan keuntungan semata-mata. Dan fakta mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia selama ini masih sangat sedikit yang berfikir bahwa rakyat dan lingkungan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dengan berbagi manfaat yang didapat dari alam
Sedangkan demokrasi yang berdimensi kosmokrasi merupakan sebuah pemahaman demokrasi yang lebih ‘mendalam’, seperti yang telah dikemukan oleh John Keane pada saat Konferensi untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali, yaitu demokrasi yang melebihi isu demokrasi yang selama ini dipahami oleh masyarakat terutama oleh banyak politikus. Demokrasi yang berdimensi demikian berusaha mengakomodasi aspek rakyat dan aspek ekologi menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Pimpinan politik yang mengaku sebagai penganut demokrasi dengan dimensi kosmokrasi akan melahirkan pemimpin politik yang tidak sekedar berlegitimasi demokrasi alias optimal didukung publik, tetapi juga berlegitimasi kosmos yang didukung dan direstui oleh rakyat dan alam. Dan tentunya perlakuan terhadap alam menjadi bagian dari visi dan misi dalam usaha untuk pelestarian, penyelamatan dan pemanfaatan berkesinambungan yang empatik dan rasional.
Hal tersebut dikarenakan demokrasi kosmokrasi akan memunculkan kesadaran akan arti penting lingkungan hidup dan eksistensi makhluk selain manusia baik secara mikro maupun makro. Ini tentunya dibutuhkan juga aksi-aksi nyata dalam rangka mencegah kerusakan-kerusakan (alam) yang fatal. Kita bisa melihat bahwa isu perubahan iklim sudah merupakan isu aktual yang menjadi perhatian internasional, tidak sekedar banjir di Jakarta, kekeringan di sejumlah daerah sehingga gagal panen.
Mungkinkah muncul politisi dalam demokrasi berdimensi kosmokrafi di Indonesia? Politisi dan kekuasaan yang pro-lingkungan hidup? Kita harus yakin, harus ada! Namun, kalau kita lihat perkembangan pasca pemilu legislatif, sangat sedikit politisi yang menuju kekuasaan yang menganut demokrasi berdimensi kosmokrasi. Ini ironis sekali, fakta menyatakan bahwa Indonesia adalah sebagai sebuah negara yang mengalami laju deforestasi sangat besar, kebakaran hutan dimana-mana, dan sebuah negara yang rawan bencana lingkungan, serta begitu banyak kasus kemiskinan dan kelaparan yang belum menemukan solusi yang tepat
Di sinilah kosmokrasi pro rakyat dan pro lingkungan dibutuhkan di Indenesia untuk mengentaskan berbagai masalah ekonomi, kemiskinan, kelaparan, pendidikan, ketersedian pangan, mengatasi bencana alam, mengembalikan demokrasi pangan dan lain sebagainya. Jadi yang saat ini kita butuhkan adalah bukan hanya melihat kekuasaan yang memiliki kecenderungan sebagai sebuah koalisi yang survival dan tidak permanent, bukan hanya dengan melihat koalisi yang terbentuk secara platform, ideologi, dan sejarah partai. Juga bukan koalisi yang didasarkan karena kekuasaan dan ingin menguasai, yang berorientasi pada kekuasan sang manusia yang digambarkan dalam ketokohan yang ditokohkan. Namun sejauh pengamatan penulis, saat ini kita belum menemukan politisi yang sepenuhnya berorientasi kosmos (baca: manusia dan lingkungannya).
Demokrasi secara hakiki bukan hanya urusan bersifat kalkulatori tentang angka dan penghitung suara, serta kekuasaan. Demokrasi adalah sarana emansipasi kemanusiaan (baca: manusia dan lingkungan) untuk lepas dari jerat kesewenangan penguasa.
Dan dengan pengamatan baik dalam pelaksanaan pra pileg dan hasil pileg maupun dalam debat Capres dan wapres, rakyat dan lingkungan sangat kurang diperahtikan, pada hal demokrasi itu adalah suatu proses untuk mewjudkan kesejahteraan manusia secara hakiki yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dengan pemahaman faktor ekologi sebagai dasar persyaratan untuk perwujudan kesejahteraan yang berkesinambungan.
Apa yang diuraikan di atas, sesuai statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. “Penurunannya sangat parah,” kata dia dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak, sehingga saat ini demokrasi berdimensi kosmokrasi menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.By Syamsul Bahri, SE (Conservationis di TNBD/Pengamat)
Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar, bahwa kekuasaan berdasarkan uang dan penguasaan sepertinya semakin menjadi trend dalam Pemilu tahun 2009 ini, yang selanjutnnya memunculkan dinasti politik, ‘politik menyusu’, politik koncoisme bahkan beberapa tokoh yang mengaku reformis banyak menempatkan keluarga, mantan pejabat, isteri, anak dan lain-lain sebagai sebagai calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, tentunya dengan dukungan finansial dan ketokohan sang tokoh dan penguasaan dalam partai politik tertentu, yang merupalam indikasi dan ancaman “plutokrasi”, yang mengembangkan demokrasi liberal (demokrasi pasar), demokrasi yang tidak “affirmative action”, memperkecil peran “civil sociaty organization”.
Demokrasi yang berdimensi manusia “anthroposentris” hanya melihat dari aspek manusia sebagai centralistic; padahal demokrasi adalah suara rakyat dan rakyat adalah menjadi bagian dari lingkungan sebagai tempat hidup yang tidak dapat dipisahkan sebagai sumber ekonomi yang berdimensi uang dan non uang yang tak ternilai. Dalam kaitannya dengan alam yang kita pijak ini, demokrasi yang semacam itu hanya melihat sumberdaya alam dari nilai uang dan keuntungan semata-mata. Dan fakta mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia selama ini masih sangat sedikit yang berfikir bahwa rakyat dan lingkungan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dengan berbagi manfaat yang didapat dari alam
Sedangkan demokrasi yang berdimensi kosmokrasi merupakan sebuah pemahaman demokrasi yang lebih ‘mendalam’, seperti yang telah dikemukan oleh John Keane pada saat Konferensi untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali, yaitu demokrasi yang melebihi isu demokrasi yang selama ini dipahami oleh masyarakat terutama oleh banyak politikus. Demokrasi yang berdimensi demikian berusaha mengakomodasi aspek rakyat dan aspek ekologi menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Pimpinan politik yang mengaku sebagai penganut demokrasi dengan dimensi kosmokrasi akan melahirkan pemimpin politik yang tidak sekedar berlegitimasi demokrasi alias optimal didukung publik, tetapi juga berlegitimasi kosmos yang didukung dan direstui oleh rakyat dan alam. Dan tentunya perlakuan terhadap alam menjadi bagian dari visi dan misi dalam usaha untuk pelestarian, penyelamatan dan pemanfaatan berkesinambungan yang empatik dan rasional.
Hal tersebut dikarenakan demokrasi kosmokrasi akan memunculkan kesadaran akan arti penting lingkungan hidup dan eksistensi makhluk selain manusia baik secara mikro maupun makro. Ini tentunya dibutuhkan juga aksi-aksi nyata dalam rangka mencegah kerusakan-kerusakan (alam) yang fatal. Kita bisa melihat bahwa isu perubahan iklim sudah merupakan isu aktual yang menjadi perhatian internasional, tidak sekedar banjir di Jakarta, kekeringan di sejumlah daerah sehingga gagal panen.
Mungkinkah muncul politisi dalam demokrasi berdimensi kosmokrafi di Indonesia? Politisi dan kekuasaan yang pro-lingkungan hidup? Kita harus yakin, harus ada! Namun, kalau kita lihat perkembangan pasca pemilu legislatif, sangat sedikit politisi yang menuju kekuasaan yang menganut demokrasi berdimensi kosmokrasi. Ini ironis sekali, fakta menyatakan bahwa Indonesia adalah sebagai sebuah negara yang mengalami laju deforestasi sangat besar, kebakaran hutan dimana-mana, dan sebuah negara yang rawan bencana lingkungan, serta begitu banyak kasus kemiskinan dan kelaparan yang belum menemukan solusi yang tepat
Di sinilah kosmokrasi pro rakyat dan pro lingkungan dibutuhkan di Indenesia untuk mengentaskan berbagai masalah ekonomi, kemiskinan, kelaparan, pendidikan, ketersedian pangan, mengatasi bencana alam, mengembalikan demokrasi pangan dan lain sebagainya. Jadi yang saat ini kita butuhkan adalah bukan hanya melihat kekuasaan yang memiliki kecenderungan sebagai sebuah koalisi yang survival dan tidak permanent, bukan hanya dengan melihat koalisi yang terbentuk secara platform, ideologi, dan sejarah partai. Juga bukan koalisi yang didasarkan karena kekuasaan dan ingin menguasai, yang berorientasi pada kekuasan sang manusia yang digambarkan dalam ketokohan yang ditokohkan. Namun sejauh pengamatan penulis, saat ini kita belum menemukan politisi yang sepenuhnya berorientasi kosmos (baca: manusia dan lingkungannya).
Demokrasi secara hakiki bukan hanya urusan bersifat kalkulatori tentang angka dan penghitung suara, serta kekuasaan. Demokrasi adalah sarana emansipasi kemanusiaan (baca: manusia dan lingkungan) untuk lepas dari jerat kesewenangan penguasa.
Dan dengan pengamatan baik dalam pelaksanaan pra pileg dan hasil pileg maupun dalam debat Capres dan wapres, rakyat dan lingkungan sangat kurang diperahtikan, pada hal demokrasi itu adalah suatu proses untuk mewjudkan kesejahteraan manusia secara hakiki yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dengan pemahaman faktor ekologi sebagai dasar persyaratan untuk perwujudan kesejahteraan yang berkesinambungan.
Apa yang diuraikan di atas, sesuai statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. “Penurunannya sangat parah,” kata dia dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak, sehingga saat ini demokrasi berdimensi kosmokrasi menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.By Syamsul Bahri, SE (Conservationis di TNBD/Pengamat)
0 comments:
Post a Comment