Saturday 27 March 2010

PELATIHAN ARSETIVITAS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pelatihan merupakan suatu hal yang penting untuk meningkatkan kemampuan seseorang salah satu jenis pelatihan adalah pelatihan arsetivitas. Pelatihan asertivitas adalah suatu teknik pelatihan yang dimaksudkan untuk mengajarkan dan membiasakan individu berperilaku asertif dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain di sekitarnya.
Dalam menjalin hubungan dengan orang lain hendaknya seseorang harus bisa menempatkan diri sesuai dengan kondisi saat itu.Untuk itu pelatihan arsetivitas diperlukan agar seseorang terbiasa untuk bersikap sopan terhadap orang lain.Banyak sekali kasus menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain,mereka bersikap acuh dan tidak acuh,sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak mengahragai hak-hak orang lain,tidak bisa mengahargai orang lain.
Dalam mengahadapi kasus ini pelatihan arsetivitas diperlukan agar sesorang itu bisa berubah dan menunjukkan hubungan baik dengan orang lain. Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan tentang konsep pelatihan arsetivitas.
B. TUJUAN
Sesuai dengan masalah yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Memunuhi tugas psikologi eksprimen.
2. Menambah pengetahuan tentang pelatihan arsetivitas,dan
3. Mengetahui bagaimana cara menerapkan pelatihan arsetivitas.
C. BATASAN MASALAH
Penulisan makalah ini terbatas pada hal-hal berikut :
• Pengertian Pelatihan Arsetivitas
• Faktor yang Mempengaruhi Perilaku arsetivitas
• Indikator dari Perilaku Arsetivitas


BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pokok Asertif dan Pelatihan Asertif.
a. Rathus & Nevid, 1977
Arsetivitas berasal dari kata to assert yang berarti meminta seseorang untuk melakukan sesuatu dengan cara yang akan menambah penghargaan atau mengurangi avensi.
b. Mallot dkk, 1978
Menyatakan dengan sopan dan manis hal – hal yang dirasa mengganggu ataupun menyenangkan.
c. Lazarus, 1976
Tindakan mempertahankan hak – hak dirinya, hal ini dapat terjadi karena adanya kondisi afektif yang meliputi (1) pengetahuan akan hak – haknya, (2) berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak – hak tersebut (3) melakukan hal itu untuk mencapai kebebasan emosi.
d. Kanfer & Goldstein, 1975
Pelatihan asertivitas adalah suatu teknik pelatihan yang dimaksudkan untuk mengajarkan dan membiasakan individu berperilaku asertif dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain di sekitarnya
Orang yang mampu menguasai diri, dapat bersikap bebas dan menyenangkan, mampu merespon hal – hal yang disukai secara wajar, dan mengekspresikan cinta dan kasih sayang pada orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Dalam menyikapi permintaan atasannya, karyawan tersebut lebih bersikap submisif yaitu cenderung menuruti perintah atasannya meskipun sebenarnya ia tidak ingin melakukannya, dapat juga disimpulkan ia tidak berani menolak perintah atasannya. Lain lagi jika karyawan tersebut dengan suara yang keras dan kasar menolak perintah tersebut tanpa memperhatikan hak-hak orang lain kepada kita, maka orang yang demikian ini bersikap agresif. Baik submisif maupun agresif akan membawa individu kepada permasalahan dan kecemasan dalam hubungan sosial.
Satu solusi dari pendekatan behavior yang notabene dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif. Asertif itu sendiri berarti kemampuan untuk mengekspresikan/mengungkapkan perasaan, pendapat, keinginan dan kebutuhan secara langsung, terbuka serta terus terang dengan tetap menghargai perasaan dan hak-hak orang lain. Sehingga dapat dikatakan jika sikap asertif ini terletak diantara submisif dengan agresif. Oleh karena itu perilaku asertif biasanya terdiri dari beberapa tingkat agresif tetapi juga mengandung unsur ramah, kasih sayang, dan berbagai macam ketidakcemasan pikiran yang memicu tingkah laku kecemasan.
Sehingga dapat dipahami pelatihan asertif merupakan suatu teknik pemberian ijin seseorang untuk belajar menyatakan perilaku yang sesuai dan efektif, dimana sebelumnya dilarang oleh kecemasan atau pengetahuan yang salah atau suatu teknik yang digunakan untuk melatih individu bersikap asertif.
B. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Perkembangan perilaku asertif dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dan lingkungan sepanjang hidupnya. Tingkah laku ini berkembang secara bertahap sebagai hasil interaksi antara anak dengan orang tua serta orang dewasa lain di sekitarnya. Menurut Rathus (Fensterheim & Buer, 1980: 65) yang tercantum dalam penelitian Laeila Firmani Asri, faktor yang mempengaruhi perkembangan asertif adalah:
1. Jenis kelamin, sejak kanak-kanak, peranan pendidikan laki-laki dan perempuan telah dibedakan di masyarakat. Sejak kecil telah dibiasakan bahwa laki-laki harus tegas dan kompetitif. Masyarakat mengajarkan bahwa asertif kurang sesuai untuk anak perempuan. Oleh karena itu tampak terlihat bahwa perempuan lebih bersikap pasif terutama terhadap hal-hal yang kurang berkenan dihatinya.
2. Kepribadian, proses komunikasi merupakan syarat utama dalam setiap interaksi. Interaksi akan lebih efektif apabila tiap orang mau terlibat dan berperan aktif. Orang yang berperan aktif dalam proses komunikasi adalah mereka yang secara spontan mengutamakan buah pikirannya dan menanggapi pendapat setiap pihak lain. Sifat spontan ini dapat dijumpai pada orang yang berkepribadian ekstravest. Orang yang berkepribadian itu memiliki ciri-ciri mudah melakukan hubungan dengan orang lain, imulsif, cenderung agresif, sukar menahan diri, percaya diri, perhatian, mudah berubah, bersikap gampangan,, mudah gembira, dan banyak teman. Sebaliknya, orang yang berkepribadian intravest mempunyai ciri, pendiam, gemar mawas diri, teman sedikit, cenderung membuat rencana sebelum melakukan sesuatu, serius, maupun menahan diri terhadap ledakan-ledakan perasaan dan pengaruh prasangka terhadap orang lain.
3. Inteligensi, perilaku asertif juga dipengaruhi oleh kemampuan setiap orang untuk merumuskan dan mengungkapkan buah pikirannya secara jelas sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak lain sehingga proses komunikasi berlangsung dengan lancar.
4. Kebudayaan, segala hal yang berhubungan dengan sikap hidup, adat istiadat dan kebudayaan pertama kali dikenal melalui keluarga. Koentjaraningrat (1987: 187) mengatakan bahwa kebudayaan akan menjadi milik setiap individu dan membentuk kepribadian tertentu melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan pembudayaan. Dengan ketiga proses itu seseorang menamakan segala perasaan, hasrat dan emosi dalam kepribadian untuk disesuaikan dengan sistem norma dan peraturan yang meningkat.
Selain itu perilaku arsetif juga dipengaruhi oleh factor berikut ini :
1. pola asuh dan harapan orang tua. Pola asuh orang tua ini misalnya otoriter, demokratik atau permisif.
2. sosial ekonomi
3. harga diri
4. cara berpikir
selain factor yang diatas factor Berkembangnya perilaku asertif dipengaruhi juga oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan dan sepanjang hidupnya (Rathus, l988). Tingkah laku ini diduga berkembang sejak anak melakukan interaksi dengan orang tua dan orang-orang dewasa lain di sekitarnya. (Rathus, 1988). Oleh karena itu pengalaman, jenis kelamin kebudayaan, usia, tingkat pendidikan, situasi dan kondisi, dapat menentukan mampu tidaknya seseorang berperilaku asertif
C. Indikator
1. Asumsi Dasar
Corey (1995: 87) asumsi dasar dari pelatihan asertifitas adalah bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengungkapkan perasaannya, pendapat, apa yang diyakini serta sikapnya terhadap orang lain dengan tetap menghormati dan menghargai hak-hak orang tersebut.
2. Tujuan
Melalui pelatihan asertif ini diharapkan seseorang dapat mengungkapkan perasaan, keyakinan dan pemikiran secara terbuka dan dapat mempertahankan hak-hak pribadi dengan tetap memperhatikan dan menghargai hak-hak orang lain. Sehingga individu terhindar dari kecemasan dan permasalahan yang dikarenakan ia tidak berani mengungkapkan penolakan.
3. Karakteristik
Karakteristik yang sangat tampak dari pelatihan asertif adalah:
1. Pelatihan ini mendorong seseorang untuk bersikap jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan
2. Pelatihan asertif mengajarkan untuk melakukan suatu penolakan dengan tetap memperhatikan dan menghormati hak-hak orang lain.
3. Pelatihan asertif dapat dilakukan dengan berbagai teknik seperti bermain peran dan kursi kosong
4. Prinsip-Prinsip
Ada dua prinsip pokok dari Pelatihan asertif, yaitu:
1. Prinsip larangan yang berbalasan, sebagaimana yang dikemukakan Wolpe (1969), memandang bahwa pelatihan asertif sebagai suatu kejadian special dari larangan yang berbalasan. Prinsip ini mengusulkan bahwa rangsangan yang nyata akan menimbulkan suatu respon kecemasan dan respon kecemasan tersebut tidak dapat dielakkan.
2. I’m OK – You’re OK, kita dengan bebas melaupakan perasaan apapun yan kita rasakan, dan kita sendirilah yang bertanggung jawab terhadap perasaan kita. Kita tidak akan membiarkan orang lain mengambil manfaat dai kita dengan bebas, tetapi orang lain pun mempunyai kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakan. Kita tidak akan menyerang orang lain, bahkan akan menerima kehadiran orang lain dengan sikap terbuka. Ini adalah pengungkapan perasaan secara asertif. (Sawitri Supardi dalam Kompas Cybermedia)
5. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan pelatihan asertif ini akan tampak pada:
o pelaksanaannya yang cukup sederhana,
o penerapannya dikombinasikan dengan beberapa pelatihan seperti relaksasi, ketika individu lelah dan jenuh dalam berlatiih, kita dapat melakukan relaksasi supaya menyegarkan individu itu kembali. Pelatihannya juga bisa menerapkan teknik modeling, misalnya konselor mencontohkan sikap asertif langsung dihadapan konseli. Selain itu juga dapat dilaksanakan melalui kursi kosong, misalnya setelah konseli mengangankan tentang apa yang hendak diutarakan, ia langsung mengutarakannya di depan kursi yang seolah-olah dikursi itu ada orang yang dimaksud oleh konseli.
o Pelatihan ini dapat mengubah perilaku individu secara langsung melalui perasaan dan sikapnya.
o Disamping dapat dilaksanakan secara perorangan juga dapat dilaksanakan dalam kelompok. Melalui latihan-latihan tersebut individu diharapkan mampu menghilangkan kecemasan-kecemasan yang ada pada dirinya, mampu berfikir relistis terhadap konsekuensi atas keputusan yang diambilnya serta yang paling penting adalah menerapkannya dalam kehidupan ataupun situasi yang nyata.
2. Kelemahan, pelatihan asertif ini akan tampak pada,
o Meskipun sederhana namun membutuhkan waktu yang tidak sedikit, ini juga tergantung dari kemampuan individu itu sendiri
o Bagi konselor yang kurang dapat mengkombinasikannya dengan teknik lainnya, pelatihan asertif ini kurang dapat berjalan dengan baik atau bahkan akan membuat jenuh dan bosan konseli/peserta, atau juga membutuhkan waktu yang cukup lama.
6. Kemanfaatan
Pelatihan asertif ini sangat bermanfaat sekali dalam membentuk mental komunikasi yang baik dan memberi penolakan dengan tetap menghargai dan menghormati orang lain, selain itu dengan bersikap asertif kita juga dapat:
1. meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri
2. membantu untuk mendapatkan perhatian dari orang lain
3. meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan
4. dapat berhubungan dengan orang lain dengan konflik, kekhawatiran dan penolakan yang lebih sedikit
Lebih jauh lagi perilaku asertif membuat seseorang merasa bertanggung jawab dan konsekuen untuk melaksanakan keputusannya sendiri. Dalam hal ini, ia bebas untuk mengemukakan berbagai keinginan, pendapat, gagasan dan perasaan secara terbuaka sambil tetap memperhatikan perasaan orang lain. Citra dirinya akan terlihat sebagai sosok yang berpendirina dan tidak terjebak pada eksploitasi yang merugikan dirinya sendiri. Dengan demikian, akan timbul rasa hormat dan penghargaan orang lain yang berpengaruh besar terhadap pemantapan eksistensi dirinya ditengah-tengah khalayak luas.
7. Kendala Aplikasi
Didalam menerapkan pelatihan asertif ini ada beberapa kendala yang biasanya sering ditemui, antara lain:
1. Individu yang terbiasa menutup dirinya/terbiasa bersikap submisif.
2. Kurang terampilnya konselor memadukan beberapa teknik untuk menghindari kebosanan dan kejenuhan.
3. Penerapan pelatihan asertif dengan berbagai teknik seperti permainan peranan, modelling, kursi kosong pada umumnya membutuhkan waktu yang banyak, sedangkan waktu yang dimiliki konselor terbatas.
8. Media/Instrument
Dalam melakukan pelatihan asertif ini ada beberapa media atau instrument yang secara umum dibutuhkan, yaitu tempat yang cukup ini, hal ini disesuaikan dengan pelaksanaannya dilakukan secara kelompok atau individual. Selain tempat, umumnya juga membutuhkan model, biasanya model bisa diperankan oleh konselor. Lepas dari itu dalam memilih media dan instrumen harus memperhatikan mekanisme teknis dari pelaksanaan pelatihan serta teknik-teknik yang digunakan.
9. Prosedur Penggunaan
Prosedur dasar dalam pelatihan asertif menyerupai beberapa pendekatan perilaku dalam konseling. Prosedur-prosedur ini mengutamakan tujuan-tujuan spesifik dan kehati-hatian, sebagaimana diuraikan Osipow dalam A Survey of Counseling Methode (1984):
1. Menentukan kesulitan konseli dalam bersikap asertif. Dengan penggalian data terhadap klien, konselor mengerti dimana ketidakasertifan pada konselinya. Contoh: konseli tidak bisa menolak ajakan temannya untuk bermain voli setiap minggu pagi padahal ia lebih menyukai berenang, hal itu karena konseli sungkan, khawatir temannya marah atau sakit hati sehingga ia selalu menuruti ajakan temannya.
2. Mengidentifikasi perilaku yang diinginkan oleh klien dan harapan-harapannya. Pada tahap ini, konselor dapat mengungkapkan perilaku/sikap yang diinginkan konseli sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi dan harapan-harapan yang diinginkannya. Contoh: Setelah menggali data lebih dalam, konselor mengetahui bahwa konseli sebenarnya ingin menolak ajakan temannya untuk bermain voli setiap minggu pagi, karena ia lebih menyukai untuk berenang, dengan harapan temannya dapat membagi waktu untuk berenang dan main voli bersama. Oleh karena itu, ia ingin dapat menolak ajakan temannya.
3. Menentukan perilaku akhir yang diperlukan dan yang tidak diperlukan.Dengan kata lain, konselor dapat menentukan perilaku yang harus dimiliki konseli untuk menyelesaikan masalahnya dan juga mengenali perilaku-perilaku yang tidak diperlukan yang menjadi pendukung ketidakasertifannya. Contoh: Dengan mempelajari secara mendetail kasus yang dialami konselinya, konselor menarik kesimpulan awal bahwa, konseli tidak perlu menuruti terus ajakan temannya yang sebenarnya tidak ia sukai. Perilaku yang ia perlukan adalah menolak dengan jujur, tegas dan sopan ajakan temannya tersebut.
4. Membantu klien untuk membedakan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan masalahnya. Setelah konselor menentukan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan, kemudian ia menjelaskannya kepada konseli tentang apa yang seharusnya ia lakukan dan ia hindari dalam rangka menyelesaikan permasalahannya dan memperkuat penjelasannya tersebut. Contoh: konselor menjelaskan bahwa konseli harus dapat mengungkapkan penolakannya dan ia tidak perlu menuruti ajakan temannya untuk bermain voli setiap pagi, konseli harus mngungkapkan kalau sebenarnya ia tidak suka bermain voli dan ia lebih menyukai renang.
5. Mengungkapkan ide-ide yang tidak rasional, sikap-sikap dan kesalahpahaman yang ada difikiran konseli. Konselor dapat mengungkap ide-ide konseli yang tidak rasional yang menjadi penyebab masalahnya, sikap-sikap dan kesalahpahaman yang mendukung timbulnya masalah tersebut.
6. Menentukan respon-respon asertif/sikap yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahannya (melalui contoh-contoh). Contoh: Konselor memberikan contoh perilaku asertif yang bisa diterapkan konseli, misalnya menolak ajakan temannya dengan kalimat “Maaf, sebenarnya saya tidak menyukai voli karena punggung dan lutut saya terasa pegal-pegal setelah bermain, dan saya lebih menyukai renang, jadi saya tidak dapat mengikuti ajakanmu.” (dengan nada dan intonasi yang santai dan tenang)
7. Mengadakan pelatihan perilaku asertif dan mengulang-ulangnya.Konselor memandu konseli untuk mempraktikkan perilaku asertif yang diperlukan, menurut contoh yang diberikan konselor sebelumnya.
8. Melanjutkan latihan perilaku asertif
9. Memberikan tugas kepada konseli secara bertahap untuk melancarkan perilaku asertif yang dimaksud. Untuk kelancaran dan kesuksesan latihan, konselor memberikan tugas kepada konseli untuk berlatih sendiri di rumah ataupun di tempat-tempat lainnya.
10. Memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan. Penguatan dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa konseli harus dapat bersikap tegas terhadap permintaan orang lain padanya, sehingga orang lain tidak mengambil mafaat dari kita secara bebas. Selain itu yang lebih pokok adalah konseli dapat menerapkan apa yang telah dilatihnya dalam situasi yang nyata.
10. Karakteristik Individu yang Bersikap Asertif
Keberhasilan dari pelatihan ini akan tampak pada individu yang telah bersikap asertif yang akan tampak dalam perilakunya sehari-hari, sebagaimana menurut Fensterheim & Buer, 1980: 14, menyatakan bahwa orang yang berperilaku asertif memiliki tiga ciri, yaitu:
1. Merasa bebas untuk mengemukakan emosi yang dirasakan melalui kata dan tindakan.
2. Dapat berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan orang yang tidak dikenal, sahabat, dan keluarga. Berkomunikasi relatif terbuka, jujur, dan sebagaimana mestinya.
3. Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup, karena orang asertif cenderung mengejar apa yang diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi serta sadar akan dirinya bahwa ia tidak dapat selalu menang, maka ia menerima keterbatasan-keterbatasannya, akan tetapi ia selalu berusaha untuk mencapai sesuatu dengan usaha yang sebaik-baiknya dan sebaliknya orang yang tidak asertif selalu menunggu terjadinya sesuatu.
11. Membangun Perilaku Asssertive
Dalam membangun assertivitas terdapat beberapa pendekatan yang dapat ditempuh. Salah satunya adalah Formula 3 A, yang terangkai dari tiga kata Appreciation, Acceptance, Accommodating (yang dikutip dari The Jakarta Consulting Group):
1. Appreciation, berarti menunjukkan penghargaan terhadap kehadiran orang lain, dan tetap memberikan perhatian sampai pada batas-batas tertentu atas apa yang terjadi pada diri mereka. Contoh: memeberikan hadiah kepada teman yang menjadi juara lomba lari maraton, menjenguk teman yang sedang sakit, dan sebagainya.
2. Acceptance adalah perasaan mau menerima kehadiran orang lain tanpa membeda-bedakan status sosial, tingkat pendidikan, suku, agama, keturunan dan latar belakang lainnya. Contoh: bekerja sama meringankan korban musibah gempa, bergaul dengan teman-teman yang berbeda suku, dan sebagainya.
3. Accomodating, Menunjukkan sikap ramah kepada semua orang, tanpa terkecuali. Contoh: murah senyum, menyapa orang yang kita temui dan sebagainya.
Formula 3 A merupakan pedoman untuk memperlihatkan asertivitas berdasarkan empati dalam rangka membina hubungan baik dengan banyak orang, dengan asumsi bahwa orang lain pun mempunyai hak dan kesempatan yang sama seperti kita. Oleh karena itu, kita dapat mengemukakan hak pribadi, namun janganlah kita melupakan untuk memperhatikan hak orang lain pula. Asertivitas harus didukung oleh kemampuan untuk berargumentasi secara logis dan konstruktif, yaitu bahwa ia mampu untuk menjalankan pilihannya secara konsekuen dan bertanggung jawab. Bagi kita yang merasa perlu untuk tampil secara asertif diharapkan dapat mengevaluasi diri dengan memperhatikan elemen-elemen yang bermanfaat untuk peningkatan asertivitas dengan berpatokan pada formula 3 A. Sosok pribadi yang mampu mengembangkan perilaku asertif ini secara memadai, tentu akan terhindar dari berbagai permasalahan yang acap kali menghadang gerak maju dalam pencapaian performansi prima.
12. Tips-Tips agar Kita dapat Bersikap Asertif
Dengan memperhatikan beberapa uraian diatas, dapat diketahui antara lain asertif merupakan sikap yang diperoleh manusia dari bawaan atau keturunan, namun asertif merupakan sikap yang diperoleh dari belajar dan latihan yang dibiasakan. Untuk itu selain dengan bantuan konselor, kita juga dapat melatihnya sendiri. Berikut ini diuraikan beberapa tips agar kita bisa bersikap asertif yang dikutip dari www. e-psikologi. Com yang ditulis oleh Jacinta Rini:
1. Tentukan sikap yang pasti, apakah Anda ingin menyetujui atau tidak. Jika Anda belum yakin dengan pilihan Anda, maka Anda bisa minta kesempatan berpikir sampai mendapatkan kepastian. Jika Anda sudah merasa yakin dan pasti akan pilihan Anda sendiri, maka akan lebih mudah menyatakannya dan Anda juga merasa lebih percaya diri.
2. Jika belum jelas dengan apa yang dimintakan pada Anda, bertanyalah untuk mendapatkan kejelasan atau klarifikasi.
3. Berikan penjelasan atas penolakan Anda secara singkat, jelas, dan logis. Penjelasan yang panjang lebar hanya akan mengundang argumentasi pihak lain.
4. Gunakan kata-kata yang tegas, seperti secara langsung mengatakan “tidak” untuk penolakan, dari pada “sepertinya saya kurang setuju..sepertinya saya kurang sependapat...saya kurang bisa.....”
5. Pastikan pula, bahwa sikap tubuh Anda juga mengekspresikan atau mencerminkan “bahasa” yang sama dengan pikiran dan verbalisasi Anda...Seringkali orang tanpa sadar menolak permintaan orang lain namun dengan sikap yang bertolak belakang, seperti tertawa-tawa dan tersenyum.
6. Gunakan kata-kata “Saya tidak akan....” atau “Saya sudah memutuskan untuk.....” dari pada “Saya sulit....”. Karena kata-kata “saya sudah memutuskan untuk....” lebih menunjukkan sikap tegas atas sikap yang Anda tunjukkan.
7. Jika Anda berhadapan dengan seseorang yang terus menerus mendesak Anda padahal Anda juga sudah berulang kali menolak, maka alternatif sikap atau tindakan yang dapat Anda lakukan: mendiamkan, mengalihkan pembicaraan, atau bahkan menghentikan percakapan.
8. Anda tidak perlu meminta maaf atas penolakan yang Anda sampaikan (karena Anda berpikir hal itu akan menyakiti atau tidak mengenakkan buat orang lain)...Sebenarnya, akan lebih baik Anda katakan dengan penuh empati seperti : “ saya mengerti bahwa berita ini tidak menyenangkan bagimu.....tapi secara terus terang saya sudah memutuskan untuk ...”
9. Janganlah mudah merasa bersalah ! Anda tidak bertanggung jawab atas kehidupan orang lain...atau atas kebahagiaan orang lain, bukan.....
10. Anda bisa bernegosiasi dengan pihak lain agar kedua belah pihak mendapatkan jalan tengahnya, tanpa harus mengorbankan perasaan, keinginan dan kepentingan masing-masing.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada umumnya sikap manusia dalam menanggapi suatu hal khususnya keinginan orang lain padanya ada tiga hal, yaitu agresif, submisif/pasif/permisif dan asertif, ketiganya dapat dijelaskan seperti berikut:
1. Submisif, Orang yang mempunyai perilaku submisif berkecenderungan menerima dan bahkan menyerah pada semua hal yang terjadi, sekalipun yang dihadapi buruk adanya. Yang menonjol dari perilaku ini adalah tidak mampu mengatakan "tidak" pada kondisi dimana ia harus menyatakan "tidak".
2. Agresif , Perilaku agresif mempunyai pengertian yang bertolak belakang dari perilaku submisif. Perilaku agresif cenderung untuk “tidak melihat atau tidak mempertimbangkan kepentingan orang lain.” Apa pun yang menjadi keinginannya itulah yang harus dilaksanakan.
3. Asertif, Sikap asertif merupakan ungkapan perasaan, pendapat, dan kebutuhan kita secara jujur dan wajar.
Batas-batas ketiga sikap tersebut cukup jelas, akan lebih jelas lagi, perhatikan contoh berikut.
Contoh Situasi:
Saat perut anda keroncongan, anda memutuskan pergi ke rumah makan favorit anda, karena saat itu adalah waktunya makan siang.. rumah makan tersebut ramai sekali, kelihatan sekali pelayannya repot banget melayani pesanan-pesanan para tamunya. Karena menunggu terlalu lama, anda akan melakukan sikap:
• Berteriak-teriak: “Hei pelayan, saya sudah nunggu 10 jam, kamu kira saya ini pengemis ya dibiarkan begini saja.” (agresif)
• Menunggu terus dengan sabar (permisif/pasif)
• Memanggil pelayan: “Mas, saya sudah menunggu dari tadi, bisa tolong tuliskan pesanan saya?” (asertif)
Setelah beberapa saat menu pesanan anda datang (anggap saja yang permisif/pasif sudah dilayani), anda tadi memesan nasi rawon tapi yang dihidangkan adalah nasi pecel. Lalu sikap anda:
• Marah-marah: “Telinga kamu dimana? kamu kira saya ini kambing ya disuruh makan rumput kayak gini. Saya tidak mau tahu, cepat ganti, awas salah lagi, cepat!” (agresif)
• Berpikir: “ya nggak apa-apalah, aku kan suka pecel juga, kasihan juga pelayannya kalau majikannya marah kalau tahu dia ceroboh.” (pasif/permisif)
• Memanggil pelayan: “Mas, tolong coba lihat pesanan saya tadi? Nah, tadi saya pesan nasi rawon, mungkin anda salah meja, bisa tolong ganti nasi pecel ini dengan nasi rawon seperti yang saya pesan? Terima kasih ya.” (asertif).
Dalam membangun perilaku asertif dikenal istilah 3A yaitu:
1. Appreciation, berarti menunjukkan penghargaan terhadap kehadiran orang lain, dan tetap memberikan perhatian sampai pada batas-batas tertentu atas apa yang terjadi pada diri mereka. Contoh: memeberikan hadiah kepada teman yang menjadi juara lomba lari maraton, menjenguk teman yang sedang sakit, dan sebagainya.
2. Acceptance adalah perasaan mau menerima kehadiran orang lain tanpa membeda-bedakan status sosial, tingkat pendidikan, suku, agama, keturunan dan latar belakang lainnya. Contoh: bekerja sama meringankan korban musibah gempa, bergaul dengan teman-teman yang berbeda suku, dan sebagainya.
3. Accomodating, Menunjukkan sikap ramah kepada semua orang, tanpa terkecuali. Contoh: murah senyum, menyapa orang yang kita temui dan sebagainya.
Formula 3 A merupakan pedoman untuk memperlihatkan asertivitas berdasarkan empati dalam rangka membina hubungan baik dengan banyak orang, dengan asumsi bahwa orang lain pun mempunyai hak dan kesempatan yang sama seperti kita. Oleh karena itu, kita dapat mengemukakan hak pribadi, namun janganlah kita melupakan untuk memperhatikan hak orang lain pula. Asertivitas harus didukung oleh kemampuan untuk berargumentasi secara logis dan konstruktif, yaitu bahwa ia mampu untuk menjalankan pilihannya secara konsekuen dan bertanggung jawab. Bagi kita yang merasa perlu untuk tampil secara asertif diharapkan dapat mengevaluasi diri dengan memperhatikan elemen-elemen yang bermanfaat untuk peningkatan asertivitas dengan berpatokan pada formula 3 A.
B. Saran
Selain kesimpulan tadi, kami juga memiliki beberapa saran yang akan kami sampaikan. Adapun saran-saran yang akan kami sampaikan adalah sebagai berikut
1. Masyarakat harus mengambil peran pelatihan arsetivitas.
2. Pemerintah harus ikut serta dalam proses pelatihan arsetivitas.
4. Bagi para pemilik perusahaan maupun usaha apapun yang ada memerlukan pelatihan arsetivitas bagi para karyawannya untuk meningkatkan mutu kerja.
Demikianlah saran-saran yang dapat kami sampaikan,semoga apa yang telah kami sampaikan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca agar maumengikuti pelatihan arsetivitas. Semua orang harus ikut berperan serta dalam pelatihan arsetivitas untuk meningkatkan hubungan sosial
LAMPIRAN ARTIKEL
Perilaku Asertif
Kamis, 12 Februari 2009 11:28 Dra. Niken Iriani LNH,Msi,Psi
Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan suatu gejala yang wajar dalam kehidupan. Dalam hubungan tersebut komunikasi merupakan salah satu komponen yang penting. Corak komunikasi akan banyak ditentukan oleh latar belakang orang yang berkomunikasi, seperti kebiasaan dan kepribadian. Agar komunikasi berlangsung secara efektif seseorang perlu memiliki kemampuan asertif.
Asertif berasal dari kata asing to assert yang berarti menyatakan dengan tegas. Menurut Lazarus (Fensterheim, l980), pengertian perilaku asertif mengandung suatu tingkah laku yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dan keadaan efektif yang mendukung yang antara lain meliputi : menyatakan hak-hak pribadi, berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak tersebut, melakukan hal tersebut sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi. Sedangkan Taumbmann (l976) menyatakan bahwa asertif adalah suatu pernyataan tentang perasaan, keinginan dan kebutuhan pribadi kemudian menunjukkan kepada orang lain dengan penuh percaya diri. Alberti dan Emmons (Gunarsa, S.D. l98l) mengatakan bahwa orang yang memiliki tingkah laku asertif adalah mereka yang menilai bahwa oraang boleh berpendapat dengan orientasi dari dalam, dengan tetap memperhatikan sungguh-sungguh hak-hak orang lain. Mereka umumnya memiliki kepercayaan diri yang kuat. Menurut Rathus (l986) orang yang asertif adalah orang yang mengekspresikan perasaan dengan sungguh-sungguh, menyatakan tentang kebenaran. Mereka tidak menghina, mengancam ataupun meremehkan orang lain. Orang asertif mampu menyatakan perasaan dan pikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakannya kepada orang lain.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah tingkah laku interpersonal yang mengungkap emosi secara terbuka, jujur, tegas dam langsung pada tujuan sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi dan dilakukan dengan penuh keyakinan diri dan sopan.Ciri perilaku asertif
Mendiskripsikan fakta, bukan menilai. Contoh : Penyusunan laporan ini tidak rapi.Tidak menggeneralisirContoh : Hari ini kamu terlambat 15 menit. Ini sudah yang ketiga kalinya.Menggunakan permulaan kata : “Saya” dan bukan “Kamu”
Contoh : Saya ingin bercerita, tetapi tanpa disela.Menyatakan perasaan maupun opini dengan disertai alasan yang spesifik.Contoh : Saya marah karena ia tidak memegang janjinya.Perbedaan asertivitas, agresivitas dan non asertif
Perilaku agresif adalah perilaku yang bertujuan mendominasi dan mendapatkan apa yang diinginkan seseorang dengan cara mengorbankan orang lain. Agresif adalah suatu bentuk perilaku yang secara sengaja bertujuan untuk melukai orang lain secara langsung (Bloom, Coburn & Pearlman, l985; Baron & Byrne, l984). Contoh : Kamu selalu terlambat . Pekerjaanmu jelek Saya benci kamuAntara agresif dan asertif terdapat perilaku tidak asertif. Perilaku ini adalah perilaku yang mempunyai tujuan untuk menghindari sengketa dengan orang lain. Ciri-ciri orang yang memiliki kecenderungan ini adalah mereka yang selalu lebih mendahulukan keinginan orang lain, sukar menyatakan masalah atau hal yang diinginkannya, terlalu mudah mengalah dan mudah tersinggung, cemas serta kurang yakin pada diri sendiri (Fensterheim & Baer, l980). Sebenarnya orang-orang yang tidak asertif ini tahu tentang apa yang seharusnya mereka lakukan ketika berada dalam posisi yang mengharuskan ia berkata apa adanya. Namun mereka memiliki perasaan bahwa jika perasaan itu atau hal-hal tersebut diekspresikan maka orang lain akan membenci dirinya (Goddard, l981). Umumnya hal itu terjadi karena faktor belajar/ pengalaman. Berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku asertif.
Berkembangnya perilaku asertif dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan dan sepanjang hidupnya (Rathus, l988). Tingkah laku ini diduga berkembang sejak anak melakukan interaksi dengan orang tua dan orang-orang dewasa lain di sekitarnya. (Rathus, 1988). Oleh karena itu pengalaman, jenis kelamin kebudayaan, usia, tingkat pendidikan, situasi dan kondisi, dapat menentukan mampu tidaknya seseorang berperilaku asertif.
Kategori perilaku asertif Lazarus (1973) adalah orang pertama yang mengidentifikasi secara khusus perilaku asertif. Pada prinsipnya asertif adalah kecakapan orang untuk berkata tidak, untuk meminta bantuan atau minta tolong orang lain, kecakapan untuk mengekspresikan perasaan-perasaan positif maupun negatif, kecakapan untuk melakukan inisiatif dan memulai pembicaraan. Rich dan Schroeder (Rakos, l99l) memformulasikan bentuk perilaku asertif sebagai kecakapan ,mengekspresikan emosi baik secara verbal maupun non verbal. Christoff dan Kelly (Gunarsa, l992) menyimpulkan ada 3 kategori perilaku asertif yaitu : asertif penolakan, yaitu ucapan untuk memperhalus, seperti misalnya : maaf !, asertif pujian, yaitu mengekspresikan perasaan positif, seperti misalnya menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji dan bersyukur; ketiga adalah asertif permintaan, yaitu asertif yang terjadi kalau seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai tanpa tekanan atau paksaan. Selain ketiga hal tersebut, kemarahan juga termasuk salah satu kategori asertif. Dalam marah, orang menyatakan kejengkelan, ketidak puasan atau ketidak sesuaian antara yang ia harapkan dengan kenyataan yang ia terima.Keuntungan berperilaku asertif
Dengan menyatakan apa adanya perasaan atau emosinya seseorang tidak akan dikendalikan orang lain, efektif dalam berinteraksi, lebih dihargai orang lain, menjadi lebih percaya diri dan memiliki rasa puas Memulai asertif. Beritikad baik Tatap teman bicaraKontrol postur tubuh dan suara. Dengarkan dengan seksama teman bicara Untuk mengklarifikasi gunakan pertanyaan. Berupaya mencari solusi.(win-win-approach)
PELATIHAN ASERTIF BAGI REMAJA PUTRI UNTUK MENOLAK SEKS PRANIKAH
Penulis : WENING CITRA OKTAVIANI
NPM Nama
10503199 WENING CITRA OKTAVIANI
Pembimbing DRA. M.M. NILAM WIDYARINI, MSI Call Number 155.5 Okt p Nomor Induk S575/FPSI/08 Dimensi xiv + 55 Tahun Sidang 2007 Subyek PELATIHAN ASERTIF PADA REMAJA
Jenis Skripsi FPSI Abstraksi Pelatihan asertif adalah proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir untuk memperoleh kemahiran atau kecakapan untuk merespon atau mengatasi situasi yang bermasalah, serta dapat mempertahankan hak pribadi dan mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan secara langsung, jujur, dan dengan cara yang sesuai yaitu dengan tidak menyakiti atau merugikan diri sendiri maupun orang lain. Pelatihan asertif ini diperuntukkan bagi remaja puteri untuk menolak seks pranikah, yaitu perilaku seks yang terdiri dari berpegangan tangan, berpelukan, berangkulan, berciuman, bercumbuan, berhubungan badan (Reiss dalam Duval dan Miller, 1985) yang dilakukan seseorang sebelum menikah. Subjek dalam penelitian ini adalah 70 orang remaja puteri yang berusia 16 tahun 1 bulan sampai 19 tahun 4 bulan di SMK Wijaya Kusuma yang berada di Jl. Raya Depok No. 16 Lenteng Agung Jagakarsa Jakarta Selatan. Efektivitas pelatihan ini diukur dengan Skala Sikap Asertif untuk Menolak Seks Pranikah yang didasarkan pada ciri-ciri asertif, diantaranya mereka akan mampu untuk mengekspresikan perasaan, bercerita mengenai dirinya, menanyakan alasan, mengekspresikan ketidaksetujuan, mempertahankan hak pribadi, dan bersikap teguh. Uji validitas pada Skala Sikap Asertif untuk Menolak Seks Pranikah yang dilakukan dengan teknik total-item correlation menunjukkan terdapat 20 aitem valid yang memiliki korelasi berkisar 0,308 sampai 0,632 (N = 36). Uji reliabilitas dengan teknik Alpha Cronbach menunjukkan angka koefisien reliabilitas sebesar 0,844. Uji asumsi pada variabel asertif untuk menolak seks pranikah yang dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan menunjukkan data berdistribusi tidak normal. Uji hipotesis menggunakan teknik Wilcoxon Signed Ranks Test diketahui Z sebesar -2,072, dengan taraf signifikansi 0,038 (p < 0,05). Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang menyatakan �terdapat perbedaan yang signifikan sikap asertif remaja puteri untuk menolak seks iv pranikah sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan�, pada penelitian ini diterima. Berdasarkan hasil penelitian maka peneliti menyarankan agar peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini menjadi penelitian eksperimen dengan melibatkan kelompok kontrol, dengan double blind experiment yaitu menggunakan pelatih atau fasilitator lain dan bukan peneliti sendiri yang menjadi pelatih atau fasilitator. Bagi peserta pelatihan dapat membagi pengetahuanpengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam pelatihan kepada teman-teman remaja puteri yang lain yang belum pernah mengikuti pelatihan ini, agar semakin banyak remaja puteri yang mempunyai kemampuan asertif untuk menolak seks pranikah. Bagi para pembuat kebijakan di sekolah bentuk pelatihan ini cukup direkomendasikan agar dapat diberikan kepada siswisiswi di sekolah, sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan asertif mereka untuk menolak seks pranikah. Sehingga dapat meminimalisir perilaku seks pranikah di kalangan remaja. Asertif adalah mengekspresikan pikiran, perasaan dan keyakinan kita secara langsung, jujur dan pantas. Ini berarti kita menghargai diri kita sendiri dan orang lain. Memecahkan masalah secara win-win solution. Orang yang asertif dapat secara efektif mempengaruhi dan bernegosiasi sehingga membuat orang lain bersedia bekerjasama dengan sukarela. Agresif adalah mengekspresikan pikiran, perasaan dan keyakinan kita dengan cara yang kurang pantas dan mengganggu hak-hak orang lain. Ini berarti kita menempatkan keinginan, kebutuhan dan hak-hak kita diatas orang lain. Memecahkan masalah secara win-lose solution. Non Asertif adalah sikap yang pasif dan tidak langsung. Sikap ini membiarkan orang lain mempengaruhi hak-hak kita dan bersikap tidak hormat terhadap kebutuhan kita. Memecahkan masalah secara lose-win solution. Untuk mempermudah orang lain menangkap pesan kita, gunakan 3 hal berikut: BEHAVIOR : Apa yang orang lain telah kerjakan atau sedang dikerjakan EFFECT : Apa yang terjadi akibat tindakan yang telah atau sedang dikerjakan orang lain tersebut. FEELINGS : Apa yang kita rasakan dari tindakan yang telah atau sedang dikerjakan orang lain tersebut.Artinya ketiga hal tersebut harus disampaikan bersamaan, jangan hanya sebagian saja. Deskripsi berdasarkan fakta Agresif – Laporan ini tidak beres Asertif – Halaman pada laporan ini tidak ada.Hindari pernyataan berlebihan Agresif – Anda tidak pernah tepat waktu Asertif – Hari ini anda terlambat 15 menit, ini sudah yang ketiga kalinya dalam minggu ini Pergunakan Saya bukan Kamu Agresif – Anda selalu memotong pembicaraan saya Asertif – Saya ingin berbicara tanpa adanya gangguan (sumber: www.tufts.edu) PENGARUH PELATIHAN ASERTIVITAS TERHADAP PENINGKATAN PERILAKU ASERTIF SISWA-SISWA SMP Pelatihan asertivitas adalah suatu teknik pelatihan yang dimaksudkan untuk mengajarkan dan membiasakan individu berperilaku asertif dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain di sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelatihan asertivitas terhadap penibgkatan perilaku asertif siswa-siswa SMP. Sampel yang digunakan (N=6) adalah siswa-siswi SMP. Kr. Petra 5 Surabaya. Pemilihan sampel berdasarkan skor perilaku asertif yang berkategori rendah dan cukup. Penelitian ini bersifat quasi-eksperimen dengan menggunakan desain Two Group Pretest-Posttest Design. Dengan menggunakan uji dua sampel independen Mann-Whitney-U-Testnampak bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok yang mengikuti pelatihan dan kelompok yang tidak mengikuti pelatihan. Hasil analisis uji dua sampel berkorelasi dari Wilcoxon menunjukkan bahwa ada peningkatan skor perilaku asertif yang signifikan pada kelompok eksperimen antar sebelum dan sesudah pelatihan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelatihan asertivitas berpengaruh terhadap peningkatan perilaku asertif pada siswa-siswi SMP. Deskripsi Alternatif :Pelatihan asertivitas adalah suatu teknik pelatihan yang dimaksudkan untuk mengajarkan dan membiasakan individu berperilaku asertif dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain di sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelatihan asertivitas terhadap penibgkatan perilaku asertif siswa-siswa SMP. Sampel yang digunakan (N=6) adalah siswa-siswi SMP. Kr. Petra 5 Surabaya. Pemilihan sampel berdasarkan skor perilaku asertif yang berkategori rendah dan cukup. Penelitian ini bersifat quasi-eksperimen dengan menggunakan desain Two Group Pretest-Posttest Design. Dengan menggunakan uji dua sampel independen Mann-Whitney-U-Testnampak bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok yang mengikuti pelatihan dan kelompok yang tidak mengikuti pelatihan. Hasil analisis uji dua sampel berkorelasi dari Wilcoxon menunjukkan bahwa ada peningkatan skor perilaku asertif yang signifikan pada kelompok eksperimen antar sebelum dan sesudah pelatihan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelatihan asertivitas berpengaruh terhadap peningkatan perilaku asertif pada siswa-siswi SMP. Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis S2
Pelatihan asertivitas sebagai upaya mengurangi perilaku agresif petugas
pengamanan di lapas Cipinang
Gunawan, Pudjiono
Deskripsi Dokumen: http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=98887&lokasi=lokal
------------------------------------------------------------------------------------------
Abstrak
1. Lembaga Pemasyarakatan, di samping sebagai tempat bagi orang yang menjalani pidana akibat dari
perilakunya yang melanggar hukum, juga sebagai tempat untuk memberikan pembinaan agar individu
pelanggar hukum tersebut dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak rnengulangi kembali
perbuatannya
2. Secara yuridis hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 namun pelaksanaan
Sistem Pemasyarakatan, masih diwarnai dengan perlakuan agresif petugas, layaknya pada saat masa
"Kepenjaraan".
3. Petugas pengamanan selaku pembina narapidana, dituntut untuk mampu berperilaku asertif, baik terhadap
narapidana maupun kepada pimpinan yang ada di lapas. Sehingga bukan melalui perilaku agresif terhadap
narapidana sebagai akibat dari adanya faktor pemicu yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Atau perilaku
agresif itu sebagai media untuk melampiaskan perasaan ketidakpuasan akibat tidak mampu untuk
berperilaku asertif kepada pimpinan.
4. Dari uraian latar belakang masalah dan permasalahan tersebut maka rumusan masalah yang diangkat
adalah: "Bagaimana upaya mengurangi perilaku agresif petugas pengamanan terhadap narapidana ?"
5. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka disusunlah suatu program :
"Pelatihan asertivitas sebagai upaya mengurangi perilaku agresif petugas pengamanan terhadap narapidana
di Lapas Cipinang".
6. Untuk memahami batasan tentang tingkah laku yang dapat dikatakan sebagai "agresif", menurut Myers
(1996) menyatakan bahwa, "perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang sengaja dengan maksud
untuk menyakiti atau merupikan orang lain".
7. Pengertian asertif menunjuk pada suatu bentuk tingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Willis dan
Daisley (1995), bahwa asertif merupakan suatu bentuk tingkah laku dan bukan merupakan sifat dari
kepribadian (personality trait). Winship dan Kelley (dalam Solomon & Rothblum, 1985) menggambarkan
tingkah laku asertif sebagai pengekspresian diri secara jujur namun tanpa melanggar hak orang lain.
8. Bloom dick (1975) menyatakan bahwa pelatihan asertif atau Assertive Training berdasarkan pada teori
bahwa tingkah laku sosial dapat dipelajari dan karenanya dapat dihilangkan dan diganti dengan tingkah laku
baru yang lebih menguntungkan atau merniliki dampak positif.
9. Penulis akan merujuk pada teori-teori yang berkenaan dengan agresi yang dapat terbagi dalam beberapa
kelompok, yaitu kelompok teori Bawaan atau Bakat, teori Environmentalis atau teori Lingkungan, dan teori
Kognitif.
10. Sarwono (2002) menyatakan ada beberapa faktor penyebab yang dapat mempengaruhi terhadap agresi,
antara lain :
a. Kondisi lingkungan
b. Pengaruh kelompok
c. Pengaruh Kepribadian dan kondisi fisik
11. Rancangan pelatihan asertif ini akan diuraikan dalam tahapan sesuai dengan ketentuan penyusunan suatu
program pelatihan. Menurut Porteus (1997), tahapan pelatihan adalah meliputi :
a. Analisis kebutuhan pelatihan (training needs analysis)
b. Desain pelatihan
c. Evaluasi
12. Secara umum, gambaran program pelatihan asertif akan dilaksanakan dengan pendekatan kognitif -
tingkah laku, sesuai dengan yang dikehendaki Lange dan Jakubowski (1976).
13. Saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pelaksanaan pelatihan asertivitas, adalah sebagai berikut :
a. Hendaknya program pelatihan ini dimasukkan menjadi kalender pendidikan yang baku atau tetap bagi. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I (Pusdiklat), serta
diwajibkan bagi petugas yang baru diangkat (calon pegawai) khususnya maupun kepada petugas yang sudah
lama bertugas.
b. Selain diadakannya pelatihan asertivitas, untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan tugas dan untuk mengurangi adanya jarak antara petugas adminstratif dan petugas pengamanan, dianggap perlu pula
mengadakan pelatihan learn building, pengenalan diri, hubungan antara atasan dan bawahan, dan pelatihanpelatihan
lainnya yang dapat mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dalam rangka mencapai tujuan
Sistem Pemasyarakatan.
Menjadi Asertif Perlu Berlatih
Oleh DR. Dewi Matindas, psikolog
Rabu, 15 Oktober 2008 | 18:44 WIB
SIANG itu Erman lemas sekali ketika keluar dari ruang Pak Ridwan, atasannya. Ia menghempaskan diri ke kursi kerjanya dan menopangkan kepala dengan kedua tangannya sambil menunduk ke meja. Sebentar-sebentar ia menggeleng kepalanya, sambil memukul-mukulkan kedua tangannya ke kepala.
Ketika Toto menghampiri untuk bertanya, ia hanya menjawab perlahan, “Saya baru dimarahi Pak Ridwan.” Atasan mereka marah karena tim kerja yang dipimpin Erman terlambat sekali memasukkan laporan kerjanya.
Sebetulnya hal itu disebabkan oleh gangguan yang bersumber pada komputer perusahaan. Minggu terakhir ini, komputer perusahaan memang sering ngadat. Pak Ridwan pasti tahu soal ini, karena semua orang di kantor mengeluhkannya. Erman sangat kecewa Pak Ridwan seperti tidak mau tahu dengan gangguan komputer.
Pak Ridwan jelas menyalahkan Erman. Tapi lebih dari itu, Erman juga kesal kepada dirinya yang tidak punya keberanian untuk menangkis tuduhan Pak Ridwan. Erman kercewa, karena tak berani memperjuangkan hak pribadinya.
“Harusnya aku tidak diam saja,” begitu gumamnya dalam hati. Dengan hanya berdiam diri, jangan-jangan Pak Ridwan semakin yakin bahwa memang dialah sumber keterlambatan itu.
Toto tidak dapat berbuat banyak kecuali menenangkan dengan mengatakan, “Jangan terlalu dimasukkan ke hati, bos kita itu ‘kan memang selalu begitu.” Erman mengangkat kepalanya perlahan lalu menatap Toto.
Katanya, “Mas Toto, tolong saya diajari berani dong. Saya kesal sama diri saya sendiri. Kok, saya tidak bisa melawan atau membela diri, padahal saya tidak salah. Saya merasa dirugikan oleh tuduhan itu. Apalagi belum sempat saya menjelaskan dia sudah seperti memojokkan saya.”
Sangat Kontras
Setelah itu Erman bayak bercerita kepada Toto bahwa yang dialaminya hari itu bukan satu-satunya kejadian dalam hidupnya. Ia sering tidak bisa membantah atau bereaksi seperti yang ia inginkan.
Ia bahkan sering kali tidak berani menolak sebuah permintaan yang sebetulnya tidak ingin ia kabulkan. Kalau ada orang yang minta tolong, ia sulit bilang ‘tidak’. Padahal sebetulnya ia tidak rela untuk menolong.
Toto langsung teringat pada teman dekatnya yang bernama Uci. Ia mulai membandingkan Uci dengan Erman. Uci adalah teman main dalam klub sepakbola di kampusnya dulu, yang sampai sekarang masih sering bersama-sama di luar urusan kantor. Uci terkenal ‘sangar’ di antara teman satu klub.
Ia tergolong pemain yang baik sekali, tetapi tidak boleh tersinggung perasaannya. Begitu ada yang menyinggung, walupun dalam suasana canda, ia bisa sangat marah. Apalagi kalau ia ditegur atau dikasari, reaksinya bisa sangat agresif.
Terhadap sesama teman, bahkan dengan pelatih, ia tidak segan-segan untuk berseteru. Yang paling tidak tahan dari Uci adalah lontaran kata-katanya yang kasar. Ucapan dalam candanya pun kadang-kadang juga kasar.
Apalagi kalau ia betul-betul sedang marah. Pernah ia melampiaskan kekesalannya pada seorang pengendara mobil yang kebetulan memotong jalur mobil yang sedang mereka tumpangi, dengan menarik leher baju si pengemudi dan langsung menamparnya tanpa berbicara lebih dulu. Toto dan teman lain yang berada dalam mobil tidak dapat berbuat apa-apa karena bengong.
Seperti Erman yang kecewa pada diri sendiri, Uci pun sering menyesali perbuatannya. Sering ia bertanya, “Bagaimana ya, supaya saya bisa agak sabaran”
Di mata Toto, ada dua pribadi yang sangat kontras dalam upaya membela hak dan kepentingan dirinya. Yang satu tidak punya keberanian dan cenderung menyerah atau mengalah, sebaliknya yang lain terlihat berlebihan untuk memperoleh dan mempertahankan haknya.
Harusnya Asertif
Toto jadi menyadari bahwa kebanyakan orang yang dikenalnya dapat ia samakan sebagai Erman yang submisif, atau seperti Uci yang agresif. Sedikit sekali orang yang berada di antara kedua kutub itu. Padahal, orang yang berada di antara kedua kutup itulah yang sebetulnya lebih sehat secara psikologis.
Orang-orang yang berada diantara kedua kubu itu disebut sebagai orang-orang asertif, orang yang mampu membela hak pribadinya, tanpa menyerang hak pribadi orang lain. Orang yang mampu menolak permintaan tanpa rasa salah, selama hal yang diminta memang bukan kewajibannya dan kebetulan tidak ingin ia lakukan.
Tapi sebaliknya, orang yang asertif juga tidak akan menuntut orang lain di luar batas kewajiban orang itu.Mereka bisa menegur kesalahan orang lain, tanpa mencela pribadi orang itu.
Bukan Bawaan
Intinya, orang yang asertif adalah orang yang menyadari hak pribadi dan hak orang lain. Kesadaran ini bukan sifat yang dibawa lahir, melainkan keterampilan yang bisa dilatih.
Inti pelatihannya adalah pembenahan asumsi-asumsi yang keliru. Peserta pelatihan diajak meninjau berbagai keyakinan yang dimilikinya tentang hak pribadinya dan konsekuensi dari caranya memperjuangkan hak.
Keengganan memperjuangkan hak sering berakhir dengan kemarahan yang terpendam dan penilaian yang rendah terhadap diri sendiri. Di lain pihak, bertindak kasar dalam menuntut hak sering mengakibatnya kemarahan pihak lain.Sekadar menyakini hak pribadi maupun hak orang lain tidak langsung membuat orang jadi asertif. Keberhasilan bertindak asertif menuntut keterampilan untuk memilih respon yang tepat, baik ketika membela hak pribadi terhadap serangan orang lain, maupun ketika menuntut hak tanpa mengabaikan hak orang lain, atau tanpa melukai pihak lain. Misalkan satu waktu Anda sedang antri karcis lalu ada orang yang mencoba menyerobot. Anda berhak menegur si penyerobot, tapi tidak berhak menghina.
Anda juga berhak menolak permintaan yang merepotkan, tapi tidak berhak menuduh pihak yang meminta bantuan tidak tahu diri. Barangkali dia memang tidak tahu bahwa Anda repot. Cukup katakan, “Maaf saya sedang sangat repot,” tak perlu marah-marah sambil teriak, “Enak saja minta tolong. Enggak tahu saya lagi repot? Pakai dong otaknya!”
Perlu disadari bahwa keterampilan bertindak asertif, seperti juga keterampilan bermain musik atau mengetik, tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca buku.Untuk terampil orang harus berlatih melalui tindakan, bukan sekadar lewat pemahaman.
Assertiveness training to prevent verbal abuse in the OR - Home Study Program
AORN Journal , Jan, 2004 by Debra Buback
PROACTIVE APPROACH
Health care facilities should take a proactive approach to dealing with verbal abuse. Key to prevention and management of verbal abuse is recognition of verbal abuse warning signs and documentation and reporting of incidences of verbal abuse. (9) One researcher recommends that institutions develop policies and procedures to handle verbal abuse, such as having staff nurses attend a training session immediately after an incident has occurred and periodically thereafter, and tracking trends in verbal abuse. (10) Ideally, the offender also should participate in the training, although policies vary among hospitals.
Most RecentHealth Care Articles
• GM Retirees Will See Health Benefits Cut
• Electronic Medical Records Take a Music Lesson
• Inspector General Won't Take on Hospitals Over On-Call Pay
• New Data Show Failure of Reform Is Not an Option
• More »
One group of researchers found that assertiveness training and communication skills training were effective in coping with verbal abuse. (5) Another group of researchers recommended early intervention, such as counseling or attending formal education programs. (11) One group of researchers noted that education and collaboration were paramount in reducing incidences of verbal abuse. (1) The Occupational Safety and Health Administration recommends establishment of workplace violence prevention programs that include
* written programs with clearly stated goals and objectives,
* a workplace risk analysis,
* hazard prevention and control practices, and
* training and education for all employees.
(9)Collaboration among all team members in the perioperative setting is necessary to ensure quality patient care. Perioperative team members can be compared to the components of the engine of a car. Every part of the engine, while having its own unique function, plays an important role in the overall operation of the engine as a whole. The parts cannot work independently and must function together to allow the car to run. One piece not functioning properly can disrupt the operation of the entire car. The perioperative setting requires the same types of interdependent functioning. Each member has a unique function in collaboration with other surgical team members. Anesthesia care providers anesthetize the patient to allow surgery to proceed in a safe, pall-t-free environment. The scrub person is responsible for maintaining all sterile instruments and sutures required during the surgical procedure. The circulating nurse is the patient advocate during the surgical procedure and is responsible for patient safety, proper positioning to avoid injuries, and proper use of equipment needed during the procedure. The RNFA or resident physician provides direct assistance to the surgeon during the procedure, including retraction of tissues, tying vessels, and performing skin closures. Each member is a vital part of the perioperative team. It is extremely difficult to maintain a safe environment for the patient if members do not collaborate and work as a team. Any disruption to the team, including verbal abuse, can compromise patient safety. Researchers have observed multiple errors during surgical procedures related to interpersonal relationships in the perioperative setting. (12) The primary goal for the surgical team is a safe outcome for the patient.

1 comments:

Dimaz Julio said...

berikut referensi tentang berperilaku asertif :
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1240/1/10507299.pdf